SEBUAH PERKENALAN
Pagi yang cerah. Mentari memulai tugasnya--menghangatkan tubuh makhluk dunia. Barisan awan Commulus saling berkejaran, seperti jutaan pekerja yang berlarian keluar rumah menuju kantornya, juga seperti murid-murid yang berebutan memasuki gerbang sekolah, takut terlambat.
“Ma, Pa.. tinggalin aku ya”,
Aku meminta orangtuaku pulang selepas menaruh 2 koper besar di jalan beraspal. Persis di garis gerbang “asrama putri”. Ada apa gerangan? Seorang manja sepertiku mau berpisah berkilo-kilo meter dari orangtua, bahkan kini menyuruh mereka untuk meninggalkanku. Bukan karena tak ada rasa sedih atas perpisahan ini, tapi demi mereka, aku harus bahagia menyambut titian kesuksesan-setidaknya itu yang aku pikirkan. Sangat memilukan memang, andai kalian bisa melihat, keduanya berpelukan ditengah ramainya lalu lalang orang, kemudian.. empat mata disana terlihat basah.....
“Dik, jaga kesehatan. Madu dan vitaminnya diminum setiap hari ya”, Mama mengelus kepalaku lembut. Ah, dia selalu begitu, halus tutur kata dan mengkhawatirkan sesuatu yang-sebenarnya belum terjadi. Tega tidak tega sesungguhnya dialah alasan utamaku “tadi”nya tidak mau tinggal disini. Tapi, setelah melihat “awan-awan” masa depan di gerbang itu, aku lantang menjawab “Okey, aku mau”. Adegan berpelukan dan mencium tangan keduanya sudah lewat, mereka-melepasku--kemudian beranjak pulang dengan segaris senyum. Aku paham senyuman itu, terlebih senyummu Papa, tenang namun penuh makna mendalam. Lalu, aku membalas senyum mereka sambil berharap dalam hati “Jangan bersedih Pa,Ma. Aku disini untukmu. Nanti, aku akan membuat kalian menangis lagi, tapi bukan karena kebandelan atau burukku. Lihat saja, tangisan kalian di masa depanku akan berhias senyuman. Ingat, itu tujuan keduaku setelah mengejar ridha Tuhan. Aku bersumpah”. Bayangan mereka kini menghilang ditengah kerumunan orang. Selamat tinggal sepasang malaikatku.
Hari ini aku memulai perjalan baru sebagai “santri” dan memantapkan hati untuk berpisah dari semua anggota keluarga utama--hanya 2 orang kakak dan orangtua. Malamnya, aku menangis sesenggukan di kasur tak berseprei itu. Aku rindu mereka, bahagiaku digerbang tadi hanya berpengaruh kecil. Sekarang, aku benar-benar butuh mereka. Kutengok sekitar sambil mengelap butiran air mata, ternyata aku tak sendiri. Seluruh kawan sekamar juga menangis, dan aku melihat seorang cantik berdiri bingung di pojok kasurnya, dia mengeleng-gelengkan kepala. Tahukah? Dia adalah ketua kamarku “Alzira Fathiya”.
#
“Jangan seperti monyet makan buah manggis”,
suara pimpinan pondok menggelegar ke seluruh ruangan yang biasa kami sebut GOR itu. Sontak membangunkan santri-santrinya--terlebih anak-anak baru sepertiku yang menahan kantuk. Kali pertama bagiku berkumpul dengan ramainya orang dari berbagai penjuru daerah di negeriku sendiri.
“Kulit manggis itu buruk bukan warnanya? Ketika kita melihat warna dan bentuknya yang bisa dibilang tidak indah, tidak seperti strawberry yang berkesan manis dan lezat, kita pasti akan berpikir bahwa buah manggis itu tidaklah enak. Sama seperti calon santri yang melihat pesantren dari luar, berpikir bahwa didalamnya tidak akan bebas bertindak, selalu terkekang dengan disiplin, tidak boleh ini itu dan lain-lain. Namun, coba kita lanjut meneliti buah manggis tersebut, setelah kulitnya dibuka, ternyata daging buah berwarna putih indah dan terasa masam-masam manis dilidah, jauh berbeda tidak seperti yang kita bayangkan sebelumnya. Ini mengibaratkan bahwa setelah santri melihat, merasakan dan hidup di dalam pesantren, maka ia akan menemukan berbagai ujian, yang berarti masam, kemudian di akhirnya akan menemukan “manis”nya hidup sebagai santri hakiki. Nah, monyet disini adalah seperti orang-orang yang menyerah di awal mula, mereka hanya menggerogoti sebagian daging atau bahkan hanya kulit buah tersebut sehingga mereka tidak bisa merasakan manisnya manggis. Sangat disayangkan, padahal andai mereka pahami, pada akhirnya santri sejati pasti akan merasakan kemanisan tinggal di pesantren. Oleh karena itu, janganlah seperti monyet yang makan buah manggis.”
Setelah mencatat pidato pimpinan di note khususku, aku mulai menerawang bagaimana ujian dan manisnya hidup yang akan kuhadapi nanti. Cepat atau lambat, aku pasti akan merasakan. Inilah pengorbanan, bukankah Rasulullah SAW menjadi manusia mulia karena pengorbanan beliau membela umat dan agama Islam? Tidakkah Siti Maryam menjadi salah satu wanita panutan bagi seluruh kaum wanita dimuka bumi ini juga karena sebuah pengorbanan? Ya, aku harus berkorban, walau tidak bisa sebesar perjuangan Rasulullah SAW atau Sayyidah Maryam, setidaknya aku bisa berkorban seperti kakak kandungku, orang pertama yang memotivasi untuk mencoba hidup sebagai “santri”.
Tiba-tiba, bayangan bocah 12 tahun tadi malam mulai menggelayut di otak, seakan menghancurkan niat teguh yang barusan saja kujadikan acuan.
“Ah, kamu Ra, udah gede masih aja cengeng”, aku menggerutu sendiri sambil berjalan menuju “dapur sejuta umat”. Lapar.
DAPUR SEJUTA UMAT
“Bintang yang paling terang disana adalah milik kamu dan kakak-kakakmu, Nak. Ia menerangi hati Papa yang terkadang gelap. Benar-benar mirip seperti kalian, Zera”. Sambil menunjuk langit, Papa menceritakan asal mula nama anak-anaknya (termasuk aku), Alzera Laila Hafajee. Sebenarnya kalau dikaitkan dengan kalimatnya barusan, aku hanya dapat “malam”nya saja, waktu dimana bintang bersinar. Sedangkan nama bintangnya sendiri dipegang oleh kakak perempuanku, Ghifara Vega Hafajee dan kakak lelakiku memegang sifat terpuji si bintang, Muhammad Hafara Hafajee. Tapi tak mengapa, asal bisa melihat senyum Papa, maka kuterima perumpaan itu walau lagi-lagi sebenarnya arti bintang tersebut ada di dalam nama kakakku. Ah, aku masih saja cemburu walau sudah menceritakannya ke kalian. Setidaknya inilah alasan mengapa aku mencintai keindahan malam dengan bintangnya. Aku bisa selalu melihat senyummu disana, Pa.
Malam begitu dingin, kasurku belum dipasang seprai juga tidak ada selimut di sudut manapun. Sangat mengenaskan harus meratapi sedih sendiri. Teringat segala memori bersama orang-orang terkasih. Biasanya sebelum tidur, bahkan sampai aku sebesar ini Mama selalu membaluri badanku dengan minyak hangat. Memijati punggungku dan selalu menolak kalau-kalau aku menawarkan diri untuk memijatinya. Ia selalu begitu, merasa kuat disaat yang lain lemah. Dan kini aku terbayang tangisan mereka tadi pagi di gerbang asrama. Kalian sedang apa? Sudah makan kah? Kapan kita bertemu?. Rentetan pertanyaan dibenak sama sekali tak terjawab. Berkali- kali menghapus peluh air mata, terus mengingat cerita bintang Papa, sekaligus mendamba kehangatan Mama. Menyebalkan memang, jika mengharap sesuatu kembali tapi sampai kapanpun kenyataan tidak pernah datang dan tak berpihak pada kita. Sungguh percuma.
“Adik-adik, sudah hampir jam delapan nih. Udah ya jangan nangis, kita ke dapur yuk. Kalian lapar kan? Nanti disana kakak ceritakan sesuatu”, suara setengah teriak itu memecahkan kefokusan anak-anak yang sedang meratapi sedih di malam pertama. Kami terpaksa menurut ajakan Kak Zira, dia satu-satunya kawanku disini karena aku belum sempat berkenalan. Kami masih terlalu sibuk dengan barang-barang pribadi dan tentunya..sibuk menangis.
“Jangan lupa bawa sendok dan garpu ya”, sosok cantik itu kembali mengingatkan. Setelah menyiapkan segala sesuatunya, kami pun keluar kamar. Kami menuruni banyak anak tangga dan si ketua kamar melempar beberapa senyuman kepada orang yang nampaknya dia kenal. Kami benar-benar seperti sekumpulan itik di sore hari yang pulang ke kandang, rapi berbaris dan tidak malu memasang tampang kuyup--basah oleh rintik air mata yang masih membekas di pipi kanan kiri. Salah satu bahkan salah dua mata temanku juga terlihat seperti bengkak, lucunya.
5 menit kemudian,
Cahaya terang dari belasan lampu neon mengagetkan kedua mataku. Setengah terkejut, mengapa ruangan ini begitu terang sih. Aku kesal sendiri.
“Kamu, hey kamu. Nama kamu siapa?”, seseorang disampingku menyenggol pundakku dan bertanya.
“Zera”, aku melempar senyum padanya tanpa memutar pertanyaan. Tidak lama kemudian dia memberiku kartu nama bertuliskan “Aisya Muslikha”. Eksklusif sekali pakai kartu nama segala. Oh, remaja abad 21 memang ada-ada saja gayanya. Lagi-lagi aku hanya bisa berkata dalam hati.
#
Tak ada yang spesial, hanya ruangan biasa dengan jejeran kursi dan meja berlapis plastik putih. Aroma disekitar pun tak sama sekali menggoda perut, benar-benar biasa. Kaligrafi bertuliskan Allah, Muhammad, dan beberapa potong ayat Al-Qur’an terpajang rapi. Kombinasi warna meja, kursi dan lampu yang semuanya putih bersih terkadang mengejutkan mata pendatang, mungkin karena belum terbiasa dengan penerangan seperti itu. Hal yang wajar sebenarnya, karena di sekitar dapur pun tak ada penerangan lain, benar-benar gelap, terlebih bagian atas ruangan yang bagiku menyimpan aroma mistis. Seperti sarang hantu.
“Ayo kemari, adik-adik. Disinilah tempat kita makan, silahkan duduk. Kalau nanti kalian lupa dimana meja kita, lihat ujungnya aja ya. Disana ada nomor kamar kita. Arafah Dormitory 301”, setelah mengambil jatah makan malam, kak Zira menarik kursi untuk dirinya sambil memperkenalkan meja makan kami (anggota kamar). Tak satupun dari kami fokus ke pembicaraannya, semua kepala menghadap ke tempat yang sama, mungkin keluar satu pertanyaan di benak masing-masing “sebenarnya diatas tuh tempat apaan sih?”.
Puluhan anak baru makan bergembira, melahap semua hidangan khusus untuk malam pertama, ayam goreng+air putih+abon+kentang mustofa+empal dan lain-lain yang tidak bisa kusebutkan satu persatu. Sebenarnya dapur hanya menyediakan ayam goreng dan sayur nangka (sisanya adalah sumbangan teman sekamar dari rumah masing-masing yang dipersiapkan oleh ibu-ibu mereka termasuk Mamaku), sangat biasa memang jika kita melihat hidangan dapur tapi entah mengapa hawa makan kali ini jauh berbeda dibandingkan di rumah. Bukan hanya aku lho yang merasakan, setelah observasi, 3 temanku juga berkata demikian. Sesampainya di kamar, kak Zira mempersilahkan kami untuk istirahat. Jam sudah menunjukkan pukul 22.05 namun diantara kami belum ada satupun yang terkantuk. Masa perkenalan anggota sekamar ditunda esok hari, kak Zira tampak letih dan dia kini sudah bersiap tidur di ranjang Snoopynya. Sedangkan kami duduk melingkar ditengah kamar, bersyut-syut diam tiap kali ada satu diantara kami yang suaranya meninggi. Takut kalau membangunkan ketua kamar. Pukul 22.45 kami memulai diskusi klasik anak-anak ‘culun’. Begitulah panggilan untuk anak-anak baru, aku pernah mendengar istilah itu dari seorang senior, jujur, aku merasa kalau kami memanglah culun. Tidak seperti senior-senior yang memasang tampang ‘keren’ ketika mereka berjalan ke masjid, sekolah bahkan dapur atau kantin sekalipun. Ya beginilah kami, masih belum terbiasa dengan cara berpakaian disini. Kerudung yang menutupi kepala terikat sembarangan, ada yang talinya sengaja diikat berbentuk pita, ada juga yang diikat erat ke belakang membuat tampang si pemakainya terlihat benar-benar culun karena bentuknya sungguh bulat, sangat aneh terlebih bila orang gendut yang memakai gaya mengikat seperti itu. Bukan hanya dalam soal memakai kerudung santai, tapi ketika kami memakai jilbab sekolah pun demikian. Bingunglah bagaimana cara menggunakan yang benar, karena susah sekali membedakan mana bagian dalam dan luar. Jadi jangan heran kalau satu diantara kami, eh salah, berpuluh-puluh diantara kami yang ratusan ini memakai gaya ‘terbalik’. Bagian dalam dijadikan luar, dan sebaliknya. Aneh, tapi masa bodoh lah dengan segala omongan. Kami tahu bahwa setiap masa disini khususnya anak baru pasti dijuluki tampang aneh karena lagi-lagi memang belum terbiasa. Toh, siapa pula yang akan memperhatikan. Itu pemikiran terdahulu, ketika kami baru beberapa bulan disini.
Lanjut ke diskusi klasik, kami berkenalan satu persatu ; menyebutkan nama, alamat rumah, tempat tanggal lahir, dan asal sekolah. Tak kenal maka tak sayang. Aku membuka diskusi klasik dan otomatis memulai perkenalan, disusul oleh teman dari Tanjung Pinang, Batam. Obrolan kami cukup seru, mengenal seseorang adalah hal yang menyenangkan. Aku berharap semoga kami bisa betah di kamar ini dengan karakter teman yang berbeda-beda. Tak ada tindakan bocah alias berantem-beranteman, sifat egois dan juga individualistis. Masuk ke topik utama, satu diantara kami membuka pertanyaan
“Eh tadi kak Zira bilang mau cerita sesuatu ya di dapur?”
“Oh iya, dia belum nyeritain tuh. Apa ya kira-kira?”
“Hey kalian sadar sesuatu gak sih? Aku tadi lama memperhatikan, bagian atas dapur tuh kesannya angker banget ya?”
“Aah, jangan ngomongin serem donk. Udah hampir jam dua belas nih”
Kami saling menimpali dan berujung pada cerita-cerita hantu ‘Nasional’ alias hantu dalam negeri. Oh, mengapa malam-malam begini masih saja sempat membahas makhluk-makhluk halus yang tak bisa diraba itu (namanya juga halus, jadi jelas susah diraba, hehe)? Rasanya aku benar ingin tiduuurr, enggan mendengar obrolan ini. Bocah, bocah, sebetulnya takut tapi pura-pura berani membahas hal mistis. Terpaksa aku ikut masuk lagi ke dalam obrolan.
“Wah, jangan-jangan kak Zira mau cerita sejarah tempat itu lagi. Pasti seru deh. Pokoknya besok kita semua harus minta kak Zira untuk ceritain ya.”
Semua menjawab “oke” dengan berbagai macam mimik wajah, ada yang gugup karena terpaksa (aku), ada pula yang menolak malu-malu tapi akhirnya ikut juga. Diskusi sekitar 45 menit itu kami akhiri dengan bacaan hamdalah. Selesai sudah masa perkenalan singkat ini. Empat diantara kami langsung berdiri, mengambil gayung dan melaju cepat melewati teman lain yang masih duduk santai di tengah kamar. Ternyata mereka kebelet “buang air”, berusaha menahan dari tadi. Ingin ke kamar mandi, tapi karena obrolan sedang membahas kemistisan bagian atas dapur, mereka urung. Takut.
Gerombolan kedua (setelah kelompok kebelet) pergi menuju kamar mandi. Berjalan santai, padahal sebenarnya ada juga rasa takut di otak masing-masing, karena sekitar koridor lantai 3 sudah benar-benar sepi. Semua melakukan ritual sehari-hari sebelum tidur; menyikat gigi, mencuci muka, dan berwudhu. Disinilah aku pertama kali melihat satu kerjasama. Aksi saling tunggu-menunggu diantara kami membuatku tersenyum simpul “Setianya mereka”, batinku.
“Ya Allah, sedang apakah mereka disana? Pasti sudah tidur. Tolong jaga mereka dalam tidurnya, semoga besok mereka masih bisa menghirup udara segarMu dan selalu sehat. Titip salamku untuk keduanya, Ya Rahim. Selamat malam untuk mereka, juga untukMu. Tuhanku yang terbaik”, malam pertama kututup dengan bacaan ayat kursi dan pengharapan doa kepada Sang Ilahi.
#
“We..are pascoord maniaaaa..is the best in Darunnajah, Darunnajah”.
“Di arena pramuka..kita galang persatuan kita...........”.
Sahutan pasukan Coordinator berdenging di seantero asrama putri, dan yang menyebalkan adalah suara yel-yelan mereka membuat gaduh seisi asramaku. Tidak semua sih, mungkin hanya 60% yang berlebihan manjat-manjat dari ranjang atas menuju jendela. Untuk apa lagi kalau bukan untuk melihat derap jalan mereka. Apanya yang spesial sih dari kelompok yang katanya “terkeren” se-pondok (putri)?Oh, berlebihan sekali teman-temanku.
“Aaaa.. itu ketuanya keren banget.. Ane ngefans”, Meli membuka kelebayan.
“Itu itu.. kakak yang pakai kacamata juga cool banget.. Siapa ya namanya?”, Arima menyusul tak mau kalah.
4 anggota kamarku juga ikut-ikutan ‘lebay’, oh tidak! Aku yang sedang tiduran sambil membaca novel hanya bisa mengomel dalam hati karena ranjangku yang terletak dibawah bergoyang-goyang seakan turut histeris melihat pasukan Coordinator yang sedang memiringkan tongkat-tongkat mereka itu.
Jika kembali ke masa lalu, ketika SD dulu aku bisa dibilang cukup aktif dalam hal berpramuka ria. Tapi apa daya, setelah kejadian itu dan sampai aku masuk ke pondok ini hal yang kusukai tak bisa kudalami. Papa melarangku ikut pramuka disini. Sedih memang, tapi demi kesehatanku semua kuterima. Kakiku bermasalah, tepat di ke dua lutuku.
Di pasar Temanggung, Jawa Tengah. Hanya kami bertiga yang ada didalam mobil, Mama dan Papa sedang membeli tempe mendoan kesukaan keluarga kami.
“Krek..krek”
“Aww”
“Bunyi apaan tuh?” Kak Hafara bertanya ingin tahu. Namun, diantara kami tidak ada yang sadar bahwa bunyi itu ternyata berasal dari lutut kananku. Aku mengaduh tanpa tahu apa yang terjadi dengan lututku itu. Rasanya sakit seperti dipatahkan, kakiku yang tadi ber-krek-krek tak bisa kembali lurus, hanya membentuk huruf L. Belum berani untuk meluruskan lutut karena kuyakin kalau dipaksakan pasti bunyi dan rasa ngilu tadi akan kembali.
“Eh eh, coba deh lurusin. Waduh kenapa ya lututmu de’?” kak Ghifara mulai sadar dan memberiku intuisi untuk berani meluruskan. Benar-benar kali pertama merasakan ngilu sesakit ini.
“Kayaknya de’ ra nggak pernah begini deh sebelumnya. Duh kenapa ya, kak?”, aku malah balik bertanya. Secepatnya kucoba untuk meluruskan, ternyata benar, rasa dan bunyi itu kembali. Ahh sakit sekali. Kuulang dua kali membengkokkan lutut, membentuknya seperti huruf L lagi, tapi ternyata tidak ada bunyi apapun. Lalu apa maksud bunyi dan rasa ngilu tadi??
Aku sembunyikan dulu penyakit ini. Biar kedua kakakku saja yang tahu, kalau aku sudah tidak sanggup bertahan mungkin aku baru menceritakannya ke Mama.
#
Penyakit itu kini muncul lebih bervariasi. Setiap tidur pasti selalu terbangun karena keram di kaki kanan. Besoknya keram di kaki kiri, besoknya lagi ngilu dan bunyi patahan lagi. Kali ini aku harus bilang ke Papa dan Mama. Dua hari setelah laporan dan kira-kira baru 2 minggu tinggal di pondok, Papa membawaku pulang untuk berjumpa dengan dokter ahli tulang. Sesampainya di Rumah Sakit, dokter memberitahukan bahwa ada jarak antara tulang-tulang lututku. Terkadang ketika menggerakan kaki, kedua tulang memisah secara sembarangan makanya bisa menimbulkan bunyi ‘krek’ itu. Ya kurang lebih seperti itulah penjelasan yang masuk ke otakku. Untuk pemulihan, dokter menyuruhku agar sering berlatih renang dan jangan melakukan aktifitas yang terlalu meberatkan atau melelahkan kaki. Itulah sejarah mengapa aku dilarang ikut pramuka, atau ekstrakulikuler lain yang mengeluarkan banyak tenaga.
Allah jauh lebih tahu bagaimana keadaan hambaNya dan mungkin ini ujian yang terbaik, aku tetap syukuri itu. Walau tahun pertama aku tidak bisa masuk kelompok pramuka manapun, tapi aku masih bisa aktif di Jam’iyyatul Muballighoh. Salah satu ekstrakulikuler yang dikhusukan untuk para santri yang minat berpidato. Aku berusaha fokus dalam setiap latihan, dan lama-lama aku berhasil menumbuhkan kepercaya-dirianku untuk berpidato di depan umum. Alhamdulillahi rabbil ‘Alamiin.